Indahnya dandelion yang tertiup angin bukan cuma untuk keindahan ternyata, tapi untuk menyebarkan benih. | SHUTTERSTOCK

Pergi dan Relakan...

author
Semy
Senin, 17 Desember 2018 | 09:00 WIB

 

 

Kamu tidak akan tahu betapa susahnya meninggalkan makanan yang kita suka sampai suatu saat melihat atau merasakan sendiri. Anak sahabat saya dinyatakan alergi terhadap cokelat, padahal sang ibu yang merupakan sahabat saya maniak black forest.

Ketika anaknya divonis oleh dokter seperti itu, ia bersumpah tak akan menyentuh kue sarat cokelat itu. Ia ingin merasakan penderitaan anaknya.

Sulit berpisah dari sebuah hidangan. Bukan saja sulit karena tak bisa merasakan kenikmatannya lagi, tapi juga susah ketika melihat penampakan kuenya di mana-mana.

Black forest favorit orang banyak. Hampir semua toko kue menjualnya. Kejadian itu sudah berlangsung 5 tahun. Saya sudah hampir lupa kalau tidak kebetulan ketemuan bersama teman-teman kuliah. Ia ternyata masih melelehkan air mata ketika melihat sepotong black forest!

 

Bayangkan Orang Yang Tidak Bisa Lagi Makan Black Forest | SHUTTERSTOCK

 

Kenapa harus menangis, tanya saya. Dia menjawab, ”Elu gak ngalamin sih, gak bisa ngerti bagaimana rasanya punya anak yang nggak boleh makan makanan seenak cokelat!”

Lha, terus kenapa? Saya menjawab. Dia bisa makan kue yang banjir keju meleleh-leleh. Saat itu dia tidak ingat bahwa ia dilarang makan cokelat.

“Itu, kan, kata elu. Coba kalau ngalamin sendiri!”

Iya juga. Ketika harus meninggalkan pekerjaan yang saya sudah geluti selama lebih dari 20 tahun, saya juga merasa berat. Pulang ke rumah membawa kabar duka itu, tak bisa digambarkan.

Begitu masuk, putri saya sedang melantunkan lagu My Way lewat dentingan piano. Air mata saya meleleh. Terus kenapa. Lagu itu sudah sering terdengar di rumah saya sampai-sampai tak terhitung kali saya bilang, My Way mulu. Dua puluh tahun…My Way!

Tak ada yang bisa memahami sebuah kesedihan dibanding kita sendiri. Seperti saya yang bilang, "Terus kenapa", orang lain juga mengatakan hal yang sama, “Terus kenapa? Ketika Tuhan menutup pintu, Dia membuka jendela. Masuklah lewat jendela itu!”

Itu kan, kata elu. Wkwkwk.

Nah, itu juga jawaban yang sama untuk semua yang mengeluh ketika harus meninggalkan jeroan yang sarat purin demi bisa naik tiga lantai tanpa rasa kaku di persendian. Terus kenapa? Ada tempe kan, yang kalau dibanjiri krim, pasti enak rasanya. Eh, salah, no cream anymore! Wkwkwkwk.