Ketika Sabtu pagi jalan keluar masuk perkampungan, telinga saya sayup-sayup menangkap sebuah lagu lawas dari sebuah radio, ”…Tinggi gunung seribu janji lain di bibir lain di hati… itu cuma lagu lawas yang kadang didendangkan ibu saya, cerita tentang pacar yang rajin umbar janji.
Tapi lagu itu mengingatkan pada seorang teman kantor dulu yang usianya jauh lebih tua. Kalau omongannya lagi ketus, dia selalu bilang, “Eh, gue mah jujur. Mulut gue sama dengan hati gue.” Kami biasanya tertawa. Apa maksudnya? Hatinya juga ketus?
Mantan direktur saya dulu lain lagi. Terkenal jutek, galak, dan pedas omongannya, tetapi juga dikenal hatinya yang baik. Suatu hari ketika semobil di lampu merah, ia menunjuk seorang bapak yang duduk selonjor di dalam bajaj di jalur sebaliknya. Sudah jelas ia sakit keras. Dia bilang, “Bapak itu sakit. Punya duit gak, ya?”
Don’t judge a book by it’s cover! Itu juga yang saya katakan ketika menyuguhi makanan buatan saya.
Nastar buatan saya yang katanya enaknya selangit (hmmm…), misalnya, jelek tampilannya. Retak-retak kulitnya dan bentuknya tak sama. Dalam satu stoples ada lebih dari 15 macam bentuk karena saya orang yang tak bisa diajak rapi (tetapi selalu menuntut kerapian). Untunglah banyak orang fair di dunia ini yang tidak hanya menilai cover, tetapi isi.
Mumpung lagi bicara soal tampilan kue, saya selalu diajarkan ibu bapak saya cara memilih kue di toko kue.
Kalau beli sus, jangan yang motifnya tercetak jelas, itu artinya keras. Jelas, sus yang dibuat dengan banyak telur, akan pudar motifnya begitu dioven karena melebar. Jangan beli makanan yang warnanya hijau cerah, itu pasti bukan dari pandan, kata bapak saya.
Ngomong-ngomong soal kue sus, ada resep kue sus mini ala Prancis bernama gougere yang wajib kamu coba. Video resepnya ada di sini.
Gougere Celup Cokelat | ROMY PALAR/COOKIN.ID
Jadi, gimana, dong. Nilai dari cover alias tampilan atau rasakan dulu isinya? Wkwkwk. Di dunia memang tak ada kepastian.